Arisetya

Lihat, pahami, rasakan!

Analisis Naskah Tripama

Analisis Naskah Tripama

(Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)

  1. Deskripsi Data

Membaca naskah/serat tripama adalah membaca keteladanan dari sikap luhur para tokoh/manusia di masa lalu. Dalam naskah tersebut tersirat pesan moral yang amat kompleks dan jelas. Peneliti telah membaca naskah ini, terutama dari segi sifat dan sikap para tokoh di dalamnya. Di antara sifat-sifat tersebut ada beberapa yang merupakan kelebihan dan kelemahan para tokoh yang tampaknya jarang kita temui saat ini. Wujud keteladanan dan sikap para tokoh dalam naskah Tripama dalam naskah antara lain:

  1. Seyogyanya para prajurit, bila dapat engkau meneladan cerita pada masa lalu, andalan Sang prabu, Sasrabahu di Maespati, bernama patih Suwanda, jasanya ialah, yang terangkum dalam tiga hal, pandai, mampu dan berani yang diyakini, gagal layaknya keturunan mulia
    1. Yang dimaksud tiga amal baktinya, ia dapat menyelesaikan tugas, berusaha untuk dapat unggul mampu, maksudnya, ketika membantu perang negeri Magada, memboyong delapan ratus putri, dipersembahkan kepada rajanya, keberaniannya sudah jelas, berperang melawan raja Alengka, Suwanda gugur di medan perang.
    2. Ada lagi teladan yang baik, satria besar di negeri Alengka, sang kumbakarna namanya, walaupun berkecamuk perang di Alengka, dia mengajukan usul/saran kepada kandanya demi keselamatan, Dasamuka tidak terpengaruh usul itu, karena hanya melawan pasukan kera.
    3. Kumbakarna ditugaskan untuk berperang, kepada kakaknya dia tidak menolak, karena sebagai satria, dalam tekadnya tidak setuju /, hanya berpikir dan teringat ayah ibunya, dan segenap leluhurnya merasa sejahtera di Alengka, kini akan diserang oleh pasukan kera, bersumpah mati di depan laga.
    4. Ada lagi contoh lainnya, Suryaputra raja Awangga, dan dia adalah saudara pandawa lain ayah satu ibu, mengabdi pada raja kurupati, di negeri Hastina, dijadikan penglima perang, memimpin regu tempur peperangan, baratayuda dijadikan senapati, bala pasukan kurawa.
    5. Dimasukkan dengan saudaranya sendiri, berperang tanding melawan Danajaya, Sri karma sangat senang hatinya, karena mendapat jalan untuk membalas budi, kepada sang kurupati/duryudana, maka dia berusaha mati-matian,mengeluarkan segala kesaktiannya, berperang ramai dia mati terkena panah, sebagai satria yang gagah berani.
    6. Ketiga itu patut diteladani orang jawa, khususnya semua para perwira, perhatikanlah sekadarnya, terhadap jasa pengabdiannya, jangan sampai mengabaikan teladan, bila nanti akan memiliki keinginan walau tekad raksasa, tidak berbeda dengan budi makhluk lain, untuk mencapai keutamaan/kemuliaan.

Sifat-sifat luhur yang dapat dipetik dari naskah tersebut, antara lain:

a. Sumantri

Sifat mulia yang dimiliki:

1. menempuh jalan yang benar

2. taat perintah dan sadar kewajiban

3. penghayat budi luhur

4. menjunjung tinggi moral prajurit

5. tetap siaga bela Negara

6. rela berkorban jiwa raga

Kelemahannya:

  1. Belum mencapai kemandirian sejati
  2. tinggi hati
  3. buta hati tak tahu budi

b. Kumbakarna

Sifat mulia yang dimiliki:

  1. pembela kebenaran dan keadilan
  2. penyelamat lingkungan
  3. cinta bangsa dan tanah air
  4. taat perintah

kelemahannya:

  1. prajurit tidak cepat tanggap
  2. penakut yang egoistis, ragu-ragu, tidak gigih
  3. kurang pendekatan diri dengan penguasa agung

C. Basukarna

Sifat luhur yang dimiliki:

  1. membalas budi kebaikan
  2. ksatria cinta tanah air
  3. teguh dalam pendirian
  4. setia menepati janji
  5. berjuang menegakkan kebenaran dan melumpuhkan kemunkaran

Sikap tegasnya dilandasi tujuan luhur (tata luhur: menjadi kepercayaan), (tata batin: menegakkan kebenaran untuk melumpuhkan kemunkaran)

Kelemahannya:

1. Tinggi hati dan gila hormat

Sikap tidak terpuji tersebut ditampilkan dalam (1) dalam segala urusan kekeluargaan, kemanusiaan. Karna sukar diajak temu-pendapat sehingga tidak terjadi hubungan timbal balik antara dia dengan pihak lain. (1) Adipati karma tergolong tokoh yang sukar menerima pendapat orang lain termasuk sahabat, saudara, dan keluarganya. Sebaliknya semua pendiriannya tidak dapat dikalahkan dan sikap pribadinya harus dihormati pihak lain.

2. Pendendam dan pahlawan kebencian

Sifat jantan dan sikap tegas Adipati Karna tidak dilandasi cinta kasih yang manusiawi

3. Kesetiaan membuta

Kesetiaannya tidak disertai kearifan, kebijakan, dan kebajikan.

  1. Pembahasan

Sebelum mengarah ke pembahasan yang lebih dalam, kita sebaiknya melihat sekelumit tentang profil manusia Indonesia saat ini. Dampak dari sikap mental itu nantinya akan terakumulasi dan menjadi satu rangkaian potret kehidupan manusia Indonesua seluruhnya. Penulis berusaha mencoba mengungkapkan beberapa ciri masyarakat Indonesia saat ini yang diambil dari buku ”Manusia Indonesia” yang ditulis oleh Mochtar Lubis (2001).

Dimulai dari ciri pertama manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah Hipokratis alias Munafik. Berpura-berpura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah cirri utama manusia Indonesia yang sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya. Sikap ini telah mendorong terjadinya pengkhianatan intelektual di negeri kita. Jika direpresentasikan dengan keteladanan tokoh-tokoh dalam serat Tripama, maka sikap ini bertentangan dengan sikap Kumbakarna yang berani membela kebenaran dan keadilan. Ia berani karena benar, dan takut karena salah. Segala sesuatu yang baik ia ungkapkan dan yang buruk juga diungkapkan. Apabila terjadi kesalahan, maka ada kemauan untuk memperbaikinya.

Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan Saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia. Atasan menggeser tanggung jawab  tentang sesuatu kesalahan, sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang tidak baik, satu kegagalan pada bawahannya, dan bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan demikian seterusnya.  Dalam sejarah kita dapat hitung dengan jari pemimpin-pemimpin yang punya keberanian dan moralita untuk tampil ke depan memikul tanggung jawab terhadap sesuatu keburukan yang terjadi di dalam lingkungan tanggung jawabnya.

Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia. Sikap-sikap feodalisme ini dapat kita lihat dalam tata upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan-hubungan organisasi kepegawaian (umpamanya, jelas dicerminkan dalam susunan kepemimpinan organisasi-organisasi istri pegawai-pegawai negeri dan angkatan bersenjata), dalam pencalonan istri pembesar negeri dalam daftar pemilihan umum. Istri komandan, istri menteri otomatis menjadi ketua, bukan berdasarkan kecakapan dan bakat leadershipnya, atau pengetahuan dan pengalamannya, atau perhatian dan pengabdiannya. Keadaan seperti ini sangat mempersulit proses-proses perkembangan manusia dan masyarakat dalam dunia kita kini, di mana keselamatan satu bangsa atau satu masyarakat tergantung sekali pada lamban atau derasnya arus informasi yang dapat diterimanya mengenai keadaan dan perkembangan ekonomi, politik, pengtahuan, teknologi, dan sebagainya di dunia ini.

Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua.

Ciri kelima utama manusia Indonesia adalah artistik. Karena sikapnya yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah, dan kekuasaan pada segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat dengan alam. Dia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan perasaan-perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan dayaartistik yang besar dalam dirinya yang dituankan dalam segala rupa ciptaan artistic dan kerajinan yang sangat indah-indah, dan serba aneka maamnya, variasinya, warna-warninya.

Ciri keenam manusia Indonesia adalah punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia. Kegoyahan watak serupa ini merupakan akibat dari cirri masyarakat dan manusai feodal pula. Dia merupakan akibat dari cirri masyarakat dan manusia feodal pula. Dia merupakan segi lain dari sikap ABS (asal bapak senang)-untuk menyenangkan atasan dan menyelamatkan diri.

Ciri lainnya adalah dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau tepaksa. Gejalanya hari ini adalah cara-cara banyak orang ingin segera menjadi “miliuner seketika”, seperti orang amerika membuat instant tea. Manusia Indonesia sekarang jadi orang kurang sabar. Ciri lain adalah manusia Indonesia kini tukang menggerutu. Tetapi menggerutunya tidak berani secara terbuka, hanya jika dia dalam rumahnya, antara kawan-kawannya yang sepaham atau sama perasaan dengan dia.

Manusia Indonesia juga cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang dilihatnya lebih dari dia. Orang kurang senang melihat orang lebih maju, lebih kaya, lebih berpangkat, lebih berkuasa, lebih pintar, lebih terkenal dari dirinya. Gampang senang dan bangga, pada yang hampa-hampa merupakan juga sebagian dari kesenangan kita pada segala rupa lambing dan semboyan yang tidak diisi. Kata-kata mutiara dalam nilai-nilai yang bijaksana, tetapi sayang sekali tidak diamalkan, dihayati, dahulu maupun sekarang.

Manusia Indonesia juga dapat dikatakan manusia-sok. Kalau berkuasa mudah mabuk berkuasa. Kalau kaya lalu mabuk –harta jadi rakus. Manusia Indonesia juga manusia tukang tiru. Kepribadian kita sudah terlalu lemah. Kita tiru kulit-kulit luar yang memesonakan kita. Sifat manusia yang lain adalah juga bahwa kita cenderung bermalas-malasan, akibat alam kita yang begini murah hati, untuk hidup dan memerhitungkan hidup hanya dari hari ke hari. Kita masih kurang rajin menyimpan untuk hari depan, dan berhitung jauh ke depan.

Masyarakat kita hari ini,masih dipengaruhi oleh sisa-sisa sikap serupa itu, maka juga manusia Indonesia masih lemah dalam mengaitkan antara sebab dan akibat. Ditambah pula dengan sikap nrima, percaya pada takdir, pada kismet, semua ini sudah begitu ditakdirkan Tuhan, maka tambah kendorlah proses logika manusia Indonesia. Ciri lain dari masyarakat kita adalah sikap tidak atau kurang peduli dengan nasib orang, selama tidak mengenai dirinya sendiri.

Era globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia, cenderung melebur semua identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru. Masyarakat Indonesia ditantang untuk makin memperkokoh jati dirinya. Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada problem krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. Hal ini didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia yang dari segi perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai masyarakat Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda dengan kapitalis dan komunis, yaitu Pancasila.

Bangsa Indonesia menetapkan Pancasila sebagai azas. Maka, seluruh perilaku, sikap, dan kepribadian adalah pelaksanaan dari nilai-nilai Pancasila. Perilaku, sikap, dan kepribadian yang tidak sesuai dengan Pancasila berarti bukan perilaku, sikap, dan kepribadian masyarakat Indonesia.

Masyarakat yang melaksanakan perbuatan bertentangan dengan Pancasila, seperti korupsi, KKN, nepotisme, merampok, mempermasalahkan poligami tapi membiarkan perselingkuhan, melakukan perjudian, berzina, minum-minuman keras, dan lain-lain, baik yang dilaksanakan oleh individu maupun gerombolan (jamaah). Semua itu perbuatan yang sangat bertentangan dan tidak berpihak kepada Pancasila. Dengan kata lain, Pancasilanya lepas saat mereka sedang melakukan perbuatan terlarang itu.

Penetapan Pancasila sebagai azas selayaknya didukung oleh masyarakat Indonesia dengan menampilkan jati dirinya yang khas, yaitu identitas bangsa. Manakala masyarakat tidak menampilkan identitas ini sesungguhnya berarti Pancasila tidak dilaksanakan dalam berkehidupan di masyarakat. Sebenarnya Pancasila akan mengangkat bangsa ini sebagai salah satu warna dari berbagai identitas yang ada di masyarakat dunia, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara. Bangsa ini malah bangga mempunyai identitas “baru” yang bila diperhatikan merupakan perwujudan antara identitas kapitalis dan komunis. Di bidang perekonomian, misalnya, banyak pergeseran ke arah kapitalis dimana swastanisasi dari sektor usaha yang melayani hajat hidup masyarakat kini sudah banyak. Atau, pengalihan sektor informasi ke swasta, yang merupakan pergeseran identitas Pancasila ke Kapitalis/Liberalis.

Di era reformasi Pancasila tenggelam, baik dalam tataran pelaksanaan maupun pembicaraan di kedai-kedai kopi pinggir jalan. Para pemimpin tidak bangga membawa/membicarakan Pancasila. Bahkan, membawa/membicarakan Pancasila dianggap menjadi beban psikologis dalam pentas reformasi yang hingga kini belum menunjukkan perubahan jelas seperti yang diinginkan masyarakat. Maka, lahirlah istilah-istilah orde baru, orde reformasi, dan sebagainya, di masyarakat. Bagi sebagian pemimpin, masyarakat yang membicarakan Pancasila takut dijuluki pengikut/penerus orde baru.

Pemimpin besar Bung Karno pernah mengatakan, bangsa Indonesia harus mandiri dan tidak ikut-ikutan pada budaya bangsa lain. Sekarang justru masyarakat kita telah berperilaku kapitalis/liberalis, yang artinya telah mengubah budaya kita sendiri. Lihat saja, kontes ratu kecantikan dengan dalih macam-macam. Serta, penafsiran yang salah terhadap perempuan dan poligami, pornografi yang dianggap seni, dan lain-lain. Itu semua menjauhkan gagasan suatu negeri dari cita-cita masyarakat madani atau masyarakat adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Apalagi, untuk menuju masyarakat ini kita harus membangun masyarakat yang rabbani, insani, akhlaqi, dan tawazun. Hablumminannas wa hablumminallah. Masyarakat yang jauh dari keempat hal diatas berarti jauh pula dari perwujudan cita-citanya, serta akan kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia. Kaum kapitalis/liberalis gencar mengekspor tatanan yang menjadi identitasnya, melalui bantuan-bantuan dan pinjaman, baik program pembangunan masyarakat, pendidikan, kesehatan. Dengan isu demokrasi gender, dan lain-lain. Di sini, bukan berarti pancasila paham yang tertutup. Justru Pancasila mengajarkan sikap supel, luwes, dan saling menghargai kemerdekaan bangsa lain. Dalam pergaulan dunia pun paham Pancasila menganut sistem politik bebas aktif. Ini menujukkan Indonesia memiliki identitas sendiri dalam percaturan dunia.

Guna mewujudkan identitas yang khas, masyarakat Indonesia hendaknya berupaya sungguh-sungguh dalam mengarahkan akal pikiran dan kecenderungan dengan satu arah yang dibangun di atas satu azas, yaitu Pancasila. “Azas tunggal” yang digunakan dalam pembentukan identitas merupakan hal yang penting diperhatikan. Kelalaian dalam hal ini akan menghasilkan identitas yang tidak jelas warnanya.

Mengembangkan identitas ini bisa dilakukan dengan cara membakar semangat masyarakat untuk serius dan sungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan nilai-nilai Pancasila, serta mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dan, awas propaganda kapitalisg dekat padanya.

Kita juga telah membaca dan mendengar bahwa Indonesia termasuk negara terkorup di dunia. Dan ketika kita melihat sendiri kenyataan yang ada di depan kita, ternyata korupsi telah melibatkan banyak kalangan, baik di pusat maupun di daerah, di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan tokoh masyarakat. Kita pun jadi makin prihatin dan cemas, adakah pengusutan dapat dilakukan dengan tuntas dan adil? Cukup tersediakah aparat penegak hukum yang bersih untuk mengusutnya dengan adil, tepat, dan benar? Dan sampai kapan akan selesai?

Penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Akan tetapi, kita pun harus memahami persoalannya secara lebih fundamental, agar menumbuhkan sikap arif untuk bersama-sama tak mengulang dan membudayakan korupsi dalam berbagai aspek kehidupan kita, sehingga tidak terjadi apa yang dikatakan “patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu” seperti sel kanker ganas karena akarnya yang telah meluas, maka semakin dibabat semakin cepat penyebarannya.

Indonesia adalah negara yang kaya, tetapi pemerintahnya banyak utang dan rakyatnya pun terlilit dalam kemiskinan permanen. Sejak zaman pemerintahan kerajaan, kemudian zaman penjajahan, dan hingga zaman modern dalam pemerintahan NKRI dewasa ini, kehidupan rakyatnya tetap saja miskin. Akibatnya, kemiskinan yang berkepanjangan telah menderanya bertubi-tubi sehingga menumpulkan kecerdasannya dan masuk terjerembap dalam kurungan keyakinan mistik, fatalisme, dan selalu ingin mencari jalan pintas.

Kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, kejujuran, dan kepandaian semakin memudar karena kenyataan dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi ternyata bernasib buruk hanya karena mereka datang dari kelompok yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, dan guru. Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.

Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun karena hanya dipakai para elite untuk membodohi kehidupan mereka saja. Sebaliknya, mereka lebih percaya adanya peruntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga perdukunan dan perjudian dalam berbagai bentuknya semakin marak di mana-mana. Mereka memuja dan selalu mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat, baik kekuasaan maupun kekayaan. Korupsi lalu menjadi budaya jalan pintas dan masyarakat pun menganggap wajar memperoleh kekayaan dengan mudah dan cepat.

Budaya korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada. Sejak dahulu kala, para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup karena bisnisnya ya kekuasaan itu sendiri. Penguasa bukanlah pekerja profesional, yang harus pintar, cerdas, dan rajin, tidak digaji pun mereka mau asal mendapatkan kekuasaan karena kekuasaan akan mendatangkan kekayaan dengan sendirinya.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada tekad presiden pilihan rakyat yang hendak melakukan percepatan pemberantasan korupsi, kita perlu merenungkan kembali dengan jernih apakah pemberantasan korupsi dapat dilakukan tanpa dekonstruksi sosial? Jangan sampai upaya pemberantasan korupsi seperti terperosok dalam sumur tanpa dasar yang tidak pernah dapat menyentuh landasannya dengan tepat dan benar. Jangan sampai kita terperosok dalam kebencian dan konflik tanpa ujung pangkal. Semua proses hukum memang perlu ditegakkan tanpa pandang bulu, tetapi tak akan pernah cukup karena kompleksnya persoalan korupsi itu sendiri. Semua orang tahu korupsi ada dan besar, tetapi betapa sulitnya mencari bukti dan definisi, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Korupsi bukanlah hanya persoalan hukum saja, tetapi juga merupakan persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Realitas sosial yang timpang, kemiskinan rakyat yang meluas serta tidak memadainya gaji dan upah yang diterima seorang pekerja, merebaknya nafsu politik kekuasaan, budaya jalan pintas dalam mental suka menerabas aturan, serta depolitisasi agama yang makin mendangkalkan iman, semuanya itu telah membuat korupsi semakin subur dan sulit diberantas, di samping karena banyaknya lapisan masyarakat dan komponen bangsa yang terlibat dalam tindak korupsi. Karena itu, dekonstruksi sosial tak bisa diabaikan begitu saja dan kita perlu merancang dan mewujudkannya dalam masyarakat baru yang antikorupsi.

Dekonstruksi sosial memerlukan tekad masyarakat sendiri untuk keluar dari jalur kehidupan yang selama ini telah menyengsarakannya. Perlu ada tobat nasional untuk memperbarui sikap hidup masyarakat yang antikorupsi karena ko- rupsi ternyata telah menyengsarakan bangsa ini secara keseluruhan. Tobat dalam agama adalah kesadaran total untuk tak mengulangi lagi perbuatannya karena memang perbuatan itu telah mencelakakan dirinya dalam dosa. Dengan tobat, dia akan menjadi manusia baru yang bebas dari pengulangan dosa-dosa lama yang telah diperbuatnya.

Tobat bukanlah basa-basi, tetapi komitmen transendental untuk menembus dan memasuki kehidupan baru yang lebih baik. Dan tanpa tobat nasional, rasanya pemberantasan korupsi seperti benang kusut yang sulit mengurainya. Tobat nasional diperlukan untuk memotong budaya korupsi yang selama ini telah menjadi cara hidup, berpikir, dan berperilaku masyarakat untuk mendapatkan kekayaan. Tobat nasional harus dimulai dari imamnya, yaitu para pemimpin yang berada di puncak kekuasaan. Pemimpin yang bersih dan berketeladanan dapat menjadi rujukan perilaku rakyatnya. Pemimpin yang satunya kata dengan perbuatan, yang dengan rendah hati bersedia melayani rakyatnya, karena sesungguhnya seorang pemimpin adalah pelayan rakyatnya. Pemimpin yang cerdas, yang mampu membaca tanda-tanda zaman untuk membawa rakyatnya ke arah masa depan yang lebih baik, jelas, dan terukur. Pemimpin yang tidak bertopeng atas kekuasaannya sehingga denyut dan jeritan rakyatnya segera tertangkap oleh hati nuraninya yang tidak bertopeng.

Topeng kekuasaan harus dibuka melalui mekanisme sistemik yang inheren dalam kehidupan masyarakat baru yang sudah bertobat, yang dibangun dan dikawal oleh kepemimpinan yang berkeladanan dan visioner. Mekanisme sistemik yang menyerap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, kebebasan, dan kemandirian menjadi kekuatan spiritual yang akan bekerja secara otomatis untuk melakukan kontrol atas keseimbangan mekanisme internalnya sendiri. Sesungguhnya kehidupan masyarakat adalah suatu mesin hidup yang mekanismenya otonom dan sistemik. Kehidupan masyarakat akan sehat jika mekanisme internalnya terkendali oleh spiritualitas kemanusiaan universal yang melandasi kehidupan manusia itu sendiri.

Dekonstruksi sosial bukanlah antitesis dari tesis yang ada, tetapi suatu sintesis dari keunggulan-keunggulan kemanusiaan dan bersifat dinamis melalui proses dialektik yang akan terus-menerus memperbarui dirinya. Sebagai sintesis, dekonstruksi sosial merupakan rajutan-rajutan baru yang terbuka secara terus-menerus, dan keterbukaan merupakan prasyarat utama dalam proses pembaruan itu sendiri. Dekonstruksi sosial harus melahirkan sistem kehidupan masyarakat baru yang terbuka dan semua urusan publik tidak lagi bertopeng. Rasanya korupsi hanya bisa dikendalikan jika semua urusan publik dilepaskan dari pemujaan atas topeng-topeng kekuasaan yang ada.

Dari banyak kasus tersebut kita tentu telah mampu menyimpulkan betapa rendahnya sikap mental manusia Indonesia, namun terkadang kita tidak menyadarinya. Berkaca dari sikap-sikap buruk yang dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya keteladanan dari para tokoh dalam naskah Tripama, maka masyarakat Indonesia diharapkan mampu:

  1. selalu menyadari dan dengan penuh kesadaran mengurangi sifat-sifat kita yang buruk, dan mengembangkan yang baik-baik
  2. menciptakan kondisi masyarakat yang dapat mendewasakan diri dan melepaskan diri dan melepaskan dirinya dari lingkungan masyarakat semi atau neofeodalistis
  3. belajar memakai bahasa Indonesia secara lebih murni, lebih tepat dalam hubungan kata dengan makna, yang mengandung pengertian kita harus belajar menyesuaikan perbuatan kita dengan perkataan kita.
  4. meneladani sikap para tokoh yang terdapat dalam serat Tripama, terutama dari sifat-sifat yang baik.

Diharapkan pula naskah Tripama ini bukan hanya sekadar bacaan ringan bagi segelintir orang yang mengerti maknanya, namun lebih ditekankan pada para pemuda Indonesia yang nantinya akan menjadi penerus bangsa. Dalam dunia pendidikan khususnya, naskah ini patut diajarkan dan diterapkan dalam keseharian siswa. Paling tidak nantinya siswa akan menemukan dan membedakan antara sifat yang baik dan buruk. Ini akan menjadi langkah awal mengubah sikap mental manusia Indonesia yang buruk menjadi lebih baik.

Bahan Referensi:

Mochtar Lubis. 2001. Manusia Indonesia. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Budaya Korupsi dan Dekonstruksi Sosial oleh Musa Asyárie. Kompas, Jumat, 28/1/05. http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=1135. Diakses 9 April 2008, pukul 0:56

Identitas Khas Bangsa Indonesia. http://www.p2kp.org/wartaarsipdetil.asp?mid=1605&catid=2&. Diakses 9 April 2008, pukul 1: 02

Mei 19, 2010 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Jurnal Skripsi Kuantitatif

PENGARUH METODE HERMENEUTIK DAN PENGUASAAN BAHASA FIGURATIF TERHADAP KEMAMPUAN MENGAPRESIASI PUISI

(Eksperimen pada Siswa Kelas 10 SMA N 1 Karanganom, Klaten

Tahun 2008/2009)[1]

Oleh:

Arief Rahmawan[2]

ABSTRACT

This research uses quantitative method with the simply of factorial design 2 x 2. And then, population in this research is students 10th class SMA N 1 Karanganom, Klaten 2008/2009 academic years that 325 students. The sample include involves 2 classes, the first class as control group is 10 C and the other class as experiment is 10 G. Based on the result of the research with Anava Two Ways can be concluded: (1) There are differencials of average that significant among learning with hermeneutics method and conventional method (structural method) to the skill of poem appreciation (Fobs > Ft (0.05; 1.77) = 7,82 > 3,96); (2) There are differencials of average that significant among students who have the high mastery of figurative language and students that have the low mastery of figurative language to the skill of poem appreciation (Fobs > Ft (0.05; 1.77) = 8,24 > 3,96); (3) There is interaction among teaching methods and the mastery of figurative language with the skill of poem appreciation (Fobs > Ft (0.05; 1.77) = 4.46 > 3,96).

Keyword: hermeneutics, poem, appreciation, figurative language.

Pendahuluan

1

Selama ini, pengajaran apresiasi sastra dinilai masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kualitas pengajaran sastra dinilai rendah karena sastra hanya diajarkan dalam definisi-definisi seperti ilmu fisika, dalam rumus-rumus mirip rumus kimia (Taufik Ismail, 2007: 3). Pendapat senada tentang kualitas pengajaran sastra saat ini rendah adalah pendapat yang dikemukakan oleh Atar Semi. Atar Semi (2002: 134) mengatakan bahwa kualitas pengajaran sastra dinilai rendah karena berbagai faktor seperti kurikulum, sarana belajar, dan guru. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah menekankan aspek afektif dan psikomotor selain juga kognitif dalam setiap evaluasinya. (Baedhowi, 2006: 812).

Problem pengajaran sastra di sekolah memang sudah menjadi hal yang perlu segera diselesaikan. Permasalahan yang menyebabkan kualitas pembelajaran sastra tersebut menjadi rendah pada hakikatnya adalah permasalahan yang klasik. Sebagaimana yang juga diungkapkan oleh Suwardi Endraswara (2002: 59) bahwa problem pengajaran di sekolah selalu terkait dengan ketersediaan karya sastra, sistem pengajaran, kurikulum yang kurang memberi ruang terhadap sastra dan kemampuan guru. Bahkan dikatakan bahwa pengajaran sastra di sekolah terkena infeksi, terjangkit virus kronis, suram, dan hampir gagal.

Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang juga perlu diapresiasi. Puisi adalah karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia (Herman J. Waluyo, 2002: 1). Seperti halnya pendapat Taufik Ismail (2007: 3) di atas, puisi juga termasuk salah satu karya sastra yang pengajarannya dinilai rendah di sekolah-sekolah.

Banyak siswa mengalami kegagalan dalam memahami puisi dan lebih memilih sastra dalam bentuk prosa (Geisler: 1985:76). Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya pengajaran apresiasi puisi tersebut. Sebagaimana permasalahan dalam pengajaran genre sastra yang lain, cara penyajian materi yang tidak tepat sasaran, sarana belajar yang kurang mendukung, variasi materi puisi yang belum dilakukan, dan guru yang kurang memahami akan hakikat apresiasi puisi merupakan faktor kendala yang cukup dominan dalam pembelajaran apresiasi puisi.

Salah satu upaya yang dapat diusahakan guru agar dapat meningkatkan minat dan daya apresiasi puisi adalah dengan variasi metode dalam pembelajaran. Metode pembelajaran yang dirasa cukup efektif menurut hemat peneliti adalah dengan Metode Hermeneutik. Metode ini berusaha menafsirkan puisi dengan ilmu hermeneutika.

Selain dengan variasi metode, hal lain yang berpengaruh terhadap pembelajaran apresiasi puisi adalah penguasaan bahasa figuratif. Peningkatan kemampuan mengapresiasi puisi dengan metode hermeneutik mustahil dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya penguasaan bahasa figuratif yang cukup. Puisi sebagai wujud kristalisasi makna dan kepadatan bahasa butuh bekal bahasa figuratif yang lebih dalam penafsirannya. Materi ini sangat menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut. Selain untuk mengetahui pengaruh metode hermeneutik dan penguasaan bahasa figuratif dalam pembelajaran apresiasi puisi juga dapat digunakan untuk alternatif metode dalam membelajarkan puisi.

Bertolak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) Ada tidaknya perbedaan kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang diajar dengan metode hermeneutik dengan siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural); (2) Ada tidaknya perbedaan kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi dengan siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah; (3) Ada tidaknya interaksi antara metode pembelajaran dan penguasaan bahasa figuratif terhadap kemampuan mengapresiasi puisi..

Kajian Teori

Apresiasi sastra meliputi seluruh aktivitas seseorang ketika terlibat kontak dengan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi dimulai sejak penikmat sastra melakukan pemaknaan terhadap satuan bunyi, pemahaman diksi, pemahaman kalimat, bangunan wacana yang utuh hingga pengungkapan respons atau teks sastra yang telah ia nikmati. Apresiasi berhubungan dengan sikap dan nilai. Wardani (dalam Jabrohim, 1994:16) menyatakan bahwa proses apresiasi dalam kaitannya dengan tujuan pengajaran dapat dibagi (secara sederhana dan global) menjadi empat yaitu tingkat menggemari, tingkat menikmati, tingkat mereaksi, dan tingkat menghasilkan.

Dengan demikian, apresiasi sastra bermula dari individu pembaca itu sendiri. Semakin ia tertarik terhadap karya sastra, tingkat apresiasinya pun semakin meningkat pula. Henry Guntur Tarigan (1993: 60) memberikan batasan indikator yang lebih konkret bahwa seseorang dapat dikatakan menikmati sesuatu pada prinsipnya telah dapat memberi penilaian baik-buruknya, indah tidaknya sesuatu itu dan lebih jauh lagi menjadi kritik.

Berdasarkan dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra adalah penikmatan, pemuasan rasa, dan penghargaan terhadap hasil cipta karya sastra yang didasarkan pada pemahaman. Apresiasi memiliki tingkatan dari tahap menggemari, menikmati, mereaksi, dan akhirnya dapat berproduksi.

Puisi merupakan karya sastra paling tua dan pertama kali ditulis oleh manusia. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 1) puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata dalam puisi benar-benar padat dan terpilih sehingga sangat indah bila dibaca. Puisi menurut Ghazali (2002: 118) berasal dari bahasa Latin, potein yang berarti mencipta. Bahkan Hurt, masih dalam kutipan yang sama, menunjuk sifat hakiki bahasa puisi sebagai bahasa yang tidak lazim. Puisi memiliki bahasa yang khas sehingga bahasan puisi juga bersifat khusus. Puisi merupakan wacana penggunaaaan bahasa yang bersifat khusus.

Selanggam dengan Ghazali, James Smith dalam Furman (2007: 1) mengatakan bahwa puisi adalah sebuah penyaringan atau intisari dari sesuatu. Puisi merupakan sebuah pengalaman subjektif dari seorang individu dan mempersembahkannya ke dalam sebuah cara penggeneralan metafor. Dengan kata lain, puisi merupakan sebuah karya subjektif berdasarkan pengalaman seorang individu yang disajikan dengan bahasa kiasan/metafora) Kosasih (2008: 206) membatasi puisi sebagai bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata yang indah dan kaya makna. Keindahan puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan  irama yang terkandung di dalam karya tersebut.

Sejumlah pengertian puisi yang dikemukakan oleh para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian puisi sangat beragam dan berbeda-beda antarpakar, bergantung pada sudut mana puisi itu dipandang. Namun demikian, dapat diperikan secara singkat bahwa puisi adalah karya sastra yang memiliki ciri khas mempergunakan bahasa yang dipadatkan, penuh makna dan memiliki unsur-unsur keindahan.

Sekian pendapat berbagai pakar di atas dapat disintesiskan teori tentang kemampuan mengapresiasi sastra dalam hal ini adalah apresiasi puisi. Kemampuan mengapresiasi puisi adalah kemampuan seseorang di dalam usaha untuk mengenal, memahami, menikmati, menafsirkan, mereaksi dan memproduksi puisi sebagai bentuk penghargaan terhadap puisi tersebut yang didasarkan pada pemahaman. Kemampuan mengapresiasai puisi memiliki empat tingkatan, yaitu tahap menggemari, tahap menikmati, tahap mereaksi dan akhirnya tahap memproduksi.

Metode berasal dari kata methodos dalam bahasa Yunani yang berarti cara atau jalan. Sangidu (2004: 12-14) memberikan batasan bahwa metode merupakan cara kerja yang bersistem untuk memulai pelaksanaan suatu kegiatan penelitian guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan kata yang sederhana, metode merupakan cara yang harus dikerjakan sedangkan teknik merupakan cara melaksanakan metode tersebut (Sudaryanto dalam Sangidu, 2004: 14). Keduanya digunakan untuk menunjukkan konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung dalam operasionalnya. Simpulan akhirnya adalah metode pembelajaran merupakan cara kerja yang bersistem untuk memulai pelaksanaan proses membelajarkan siswa terhadap suatu objek.

Metode Hermeneutik pada hakikatnya merupakan turunan dari pendekatan sastra pragmatik yang diuraikan oleh Abrams (dalam Tirto Suwondo, 2001: 53). Dalam tulisannya, Tirto Suwondo menjelaskan bahwa Abrams menguraikan empat pendekatan penelitian sastra, yaitu pendekatan ekspresif yang menitikberatkan pada peranan pengarang dalam mencipta karya sastra, pendekatan pragmatik yang menitikberatkan pada peranan pembaca di dalam menghayati karya sastra, pendekatan mimetik yang menekankan pada kemiripan dengan dunia nyata, dan terakhir pendekatan objektif yang menekankan pada strukturalis atau unsur intrinsik karya sastra. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa metode hermeneutik merupakan salah satu langkah operasional dari pendekatan pragmatik yang berusaha mendekati sastra dari aspek peranan pembaca yang menerima puisi. Selanjutnya, metode ini akan dijabarkan dengan beberapa teknik.

Secara sederhana, hermeneutik berarti tafsir. Dalam kamus Webster`s Third New International Dictionary dijelaskan definisi hermeneutik sebagai studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi, khususnya studi tentang prinsip umum interpretasi Bibel (Palmer, 2005:4). Namun demikian, makna tersebut akan memuaskan bagi para penerjemah Bibel. Berbeda dengan pendapat tersebut, Abulad (2007:22) justru menyatakan bahwa hermeneutik sebagai sebuah seni, yaitu seni di dalam menginterpretasikan sebuah teks. Secara lebih lanjut, ia menyimpulkan bahwa hermeneutik bukan usaha mengkontruksi cara berpikir kaku untuk sebuah interpretasi teks yang sahih melainkan keluwesan yang menjadi filosofi utamanya.

Untuk kajian yang lebih luas, perlu definisi yang lebih luas pula. Pada hakikatnya, akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti menafsirkan dan kata benda hermeneia yang berarti interpretasi (Palmer, 2005: 14-15). Palmer mendefinisikan hermeneutik sebagai proses membawa sesuatu untuk dipahami terutama seperti proses ini melibatkan bahasa. Abdul Hadi W. M. (2004: 71) memberikan pula batasan bahwa hermeneutik adalah cara menjelaskan makna tersurat dari sebuah teks. Walaupun luas pengertiannya, secara implisit pendapat ini mendukung pendapat ahli di atas.

Pendapat terakhir yang dapat disajikan adalah pendapat Nyoman Kutha Ratna. Nyoman Kutha Ratna (2005: 90) membatasi hermeneutik memiliki makna hampir sama dengan interpretasi, pemahaman atau retroaktif. Karya sastra memang sangat tepat apabila dianalisis dengan metode hermeneutika. Sejauh ini metode hermeneutika yang menjadi bagian dari pendekatan sastra yaitu pendekatan pragmatik merupakan tindak lanjut dari ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalis yang tidak dapat menjelaskan makna karya sastra secara mendalam (Tirto Suwondo, 2001: 57).

Sekian pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metode hermeneutik merupakan cara memahami dan manafsirkan sebuah teks dengan merekontruksi proses kreatif  teks tersebut. Dalam hermeneutika, proses pemahaman berlangsung dengan tahapan mengungkapkan kata-kata kunci, menjelaskan kata tersebut kemudian menerjemahkannya ke dalam makna yang lebih jelas. Dalam hermeneutika hendaknya usaha pemahaman tersebut dilakukan dengan cara yang secukupnya dan tidak memonopoli makna dengan unsur subjektivitas (Suwardi Endraswara, 2003: 46)

Langkah kerja dalam metode hermeneutik ini, didasarkan pada pendapat Palmer (2005) dan Suwardi Endraswara (2003). Tahapan yang dilakukan hampir sama dan sependapat. Secara ringkas dapat dirumuskan langkah kerja metode hermeneutik adalah sebagai berikut:

  1. menentukan dan mengungkapkan kata kunci-kata kunci yang sarat makna,
    1. menentukan arti langsung yang primer dari kata kunci yang telah ditentukan,
    2. jika dirasa perlu, dijelaskan pula arti-arti implisit,
    3. menentukan tema,
    4. memperjelas arti simbolik dalam teks,

Selanjutnya, Metode struktural merupakan salah satu langkah dari operasional dari pendekatan objektif yang menekankan ada aspek unsur intrinsiknya (Abrams dalam Tirto Suwondo, 2001: 53). Selanjutnya secara lebih tegas, Tirto Suwondo memberikan batasan bahwa metode Struktural adalah cara memahami karya sastra dengan memahami unsur-unsur  atau anasir yang membangun struktur. Hal ini didasarkan pada pendapat Jeans Peaget yang disimpulkan oleh Tirto Suwondo (2001: 53) bahwa dalam pengertian struktur terkandung tiga hal yakni gagasan keseluruhan dalam arti bahwa bagian-bagiannya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik, gagasan transformasi, dan terakhir gagasan mandiri. Pada akhir pembahasan, Tirto Suwondo menegaskan bahwa metode struktural memang tidak dapat dihindari namun risiko gagal akan tetap lebih besar apalagi jika objek yang dihadapi adalah karya-karya yang absurd.

Pendapat selanjutnya adalah pendapat Wiyatmi (2006: 89-91). Wiyatmi menjelaskan bahwa pendekatan Struktural adalah upaya memahami karya sastra secara Close Reading (membaca karya sastra secara tertutup tanpa melihat pengarangnya, hubungannya dengan dengan realitas maupun pembaca). Secara lebih lanjut, dijelaskan bahwa analisisnya difokuskan tetap pada unsur intrinsiknya. Sebagaimana dengan Tirto Suwondo di atas, Wiyatmi juga menutup kajiannya tentang kajian Struktural dengan simpulan bahwa pendekatan atau metode struktural memang mampu menganalisis dan memaknai karya sastra, tetapi memiliki kelemahan pada  kebuntuan analisisnya jika harus memahami karya sastra yang isi dan bahasanya memiliki aspek sosial yang kental.

Sangidu (2004: 16) memerikan teori struktural sebagai suatu disiplin ilmu yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Rakhmat Joko Pradopo (2005: 140-141). Struktural sebagai pendekatan objektif dirumuskan dengan menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom dan terlepas dari dunia luar, pengarang maupun pembaca. Dalam metode struktural,  hal yang terpenting adalah karya sastra itu sendiri dan khusus yang dianalisis adalah unsur intrinsiknya. Selanjutnya, Sangidu (2004: 16) juga menjelaskan bahwa metode struktural memiliki beberapa  kelemahan yaitu kesubjektivitasan peneliti, analisisnya juga tergoda hanya pada karya ternama saja, karya terasa diasingkan dari relevansi sosialnya.

Berdasarkan sekian pendapat, kiranya sudah cukup untuk merumuskan definisi metode struktural. Pada prinsipnya metode ini mendasarkan aspek unsur intrinsik karya sastra sebagai pisau analisisnya. Simpulan akhirnya, metode struktural adalah sebuah langkah operasional dari pendekatan objektif yang menganalisis karya sastra berdasarkan struktur-struktur pembangun karya sastra tersebut (unsur intrinsik). Berikut simpulan langkah kerja dari metode struktural yang didasarkan pada pendapat Suwardi Endraswara (2003: 52-53):

  1. membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti. Dalam penelitan ini teori yang dimaksud adalah teori puisi,
  2. melakukan pembacaan puisi secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung dalam puisi tersebut,
  3. unsur tema sebaiknya didahulukan dalam pembedahan isi tersebut. Tema inilah yang secara komprehensif terkait dengan unsur yang lain,
  4. menganalisis unsur intrinsik puisi yang lain, struktur fisik (tipografi, diksi, majas, rima, dan irama) dan struktur batin (amanat, perasaan, nada dan suasana puisi),
  5. menghubungkan penafsiran antarunsur intrinsik yang telah diperoleh menjadi makna struktur yang padu,
  6. menyimpulkan hasil analisis,

Bahasa figuratif menurut Rakhmat Joko Pradopo (1997: 61-62) dipersamakan dengan bahasa kiasan. Bahasa figuratif dirumuskan sebagai bahasa yang menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup dan menimbulkan kejelasan gambaran angan. Selanjutnya pendapat Jabrohim, dkk. (2001: 42-43) mendefinisikan bahasa figuratif pada dasarnya merupakan bentuk penyimpangan dari bahasa normatif, baik dari segi makna maupun rangkaian katanya, dan bertujuan untuk mencapai arti dan efek tertentu.

Herman J. Waluyo dalam Jabrohim (2001: 42) menyebut bahasa figuratif sebagai majas. Bahasa figuratif ini dapat memancarkan banyak makna dan membuat puisi menjadi prismatis. Sementara itu, Panuti Sujiman dalam Jabrohim (2001:42-43) mendefinisikan kiasan dalam bukunya Kamus Istilah Sastra, yaitu majas yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna. Kenney (1966: 64) menyebut bahasa Figuratif sebagai figurative Images atau kiasan figuratif. Simpulan pengertian bahasa figuratif adalah bahasa yang mempergunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja disimpangkan dari susunan dan artinya, yang biasa dengan maksud untuk mendapatkan kekuatan ekspresi.

Bahasa kiasan atau bahasa figuratif pada dasarnya memiliki banyak jenis, meski demikian bahasa figuratif memiliki sifat yang umum, yaitu bahasa figuratif tersebut mempertalikan sesuatu dengan menghubungkannya dengan hal yang lain (Alternbernd dalam Rakhmat Joko Pradopo, 1997: 62). Dengan kata lain, bahasa figuratif memperbandingkan sesuatu dengan yang lain. Jenis-jenis bahasa figuratif menurut Rakhmat Joko Pradopo adalah perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simille), personifikasi, metonimi, sinekdok, dan alegori.

Berikutnya, Gorys Keraf (2004: 138-145) membagi bahasa kiasan menjadi 16, yaitu: simile, metafora, alegori/parabel/fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdok, metonimia, antonomasia, ironi/sinisme/sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, pun atau paronomasia. Pendapat yang lebih lengkap adalah pendapat yang disampaikan oleh Gorys Keraf.

Beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa bahasa figuratif dapat dikatakan sebagai unsur yang menghidupkan puisi dan menjadi daya beda puisi dengan karya sastra yang lain. Puisi menjadi menarik dikaji juga akibat dari adanya bahasa figuratif ini. Jadi, bahasa figuratif adalah bahasa kiasan atau bahasa yang disimpangkan dari kaidah lazim untuk menciptakan efek tertentu dan mengaburkan makna.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di SMA N 1 Karanganom, Klaten yang beralamatkan di Jalan Raya Penggung-Jatinom 03 Karanganom, Klaten. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai dengan April 2009.

Penelitian  ini merupakan penelitian eksperimen kuasi yang melibatkan dua variabel, yaitu 2 variabel  bebas Metode pembelajaran yang dikategorikan menjadi metode hermeneutik dan metode konvensional (metode struktural). Variabel atributif, yaitu penguasaan bahasa figuratif yang dikategorikan menjadi dua, penguasaan bahasa figuratif tinggi dan penguasaan bahasa figuratif rendah. Adapun  variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan mengapresiasi puisi oleh siswa yang diukur setelah perlakuan diberikan.

Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan desain faktorial sederhana 2 x 2. Desain faktorial yang digunakan tampak  pada tabel berikut.

Tabel 1. Rancangan Faktorial  2 x 2


B
A

Metode Pembelajaran

A1

Hermeneutik

A2

Struktural

Penguasaan Bahasa Figuratif

B1

Tinggi

A1B1

A2B1

B2

Rendah

A1B2

A2B2

Penerapan metode hermeneutik pada penelitian ini disebut variabel bebas A1 dan metode konvensional (metode struktural) disebut variabel bebas A2. Variabel bebas sekundernya adalah dua kategori penguasaan bahasa figuratif yaitu penguasaan bahasa figuratif tinggi (B1) dan penguasaan bahasa figuratif rendah (B2).

Populasi  dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 10 SMA Negeri  1 Karanganom tahun ajaran 2008/2009. Adapun sampel penelitian ini terdiri dari dua kelas, satu kelas sebagai kelompok kontrol yaitu 10 C dan satu kelas sebagai kelompok eksperimen yaitu kelas 10 G. Pengambilan sampel ini dengan menggunakan teknik Cluster Random Sampling.

Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan mengapresiasi puisi siswa adalah tes psikomotorik. Adapun instrumen yang digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan bahasa figuratif siswa, yaitu teknik tes pilihan ganda. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah postes only nonequivalent control group design. Teknik dilakukan dengan cara sesudah perlakuan akan diberi tes. Tes akhir ini yang akan menjadi data untuk dianalisis. Namun sebelum perlakuan, terlebih dahuhlu seluruh sampel diberi tes penguasaan bhasa figuratif untuk menentukan pengelompokkan siswa dalam kelas.

Analisis data yang dilakukan terbagi dua, yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif meliputi tendensi sentral (untuk mengetahui harga mean, median, modus), tendensi penyebaran (untuk mencari varians, standar deviasi, simpangan), membuat daftar distribusi frekuensi absolut dan distribusi frekuensi relatif  serta histogramnya.

Sementara itu, statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis. Teknik yang digunakan adalah teknik anava dua jalan. Prinsip dan prosedur penggunaan teknik tersebut didasarkan pada pendapat Ary (1982:228-230), sedangkan untuk uji lanjut digunakan uji Scheffe`.

Pembahasan

Setelah melalui tahapan pemeriksaan data dengan pengujian persyaratan data yang meliputi uji normalitas (lampiran 3) dan homogenitas varians (Lampiran 4) maka dapat dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya. Data sudah dinyatakan berdistribusi normal dan variansnya berasal dari varians yang homogen maka dapat dilanjutkan dengan pengujian hipotesis. Berikut ini dijabarkan pengujian setiap hipotesis yang telah dikemukakan.

  1. 1. Pengujian Hipotesis I

Hipotesis pertama dinyatakan bahwa, Ho tidak ada perbedaan antara kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang diajar dengan metode hermeneutik dan metode konvensional (struktural) melawan H1, bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemapuan mengapresiasi puisi siswa yang diajar dengan metode hermeneutik  dan metode konvensional (struktural). Selanjutnya untuk menguji hipotesis tersebut, digunakan teknik analisis varians (Anava) dua jalan.

Berdasarkan penghitungan dengan teknik Anava dua jalan sebagaimana yang terlampir (lampiran 5) didapat Fobs = 7,82. Dengan tabel distribusi F pada taraf signifikansi α = 0,05 dan dk (derajat kebebasan) pembilang 1 dan dk penyebut 77, diperoleh Ft = 3,92. Hal ini berarti bahwa Fobs > Ft sehingga Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa H1 diterima atau tedapat perbedaan rataan yang signifikan antara metode hermenutik dan konvensional (stuktural) terhadap kemampuan mengapresiasi puisi siswa.

  1. 2. Pengujian Hipotesis II

Dalam hipotesis kedua dinyatakan bahwa Ho tidak ada perbedaan pengaruh antara kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi dengan siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah. Hipotesis nol ini melawan H1 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara  kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang memiliki penguasaan bahasa  figuratif dan kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah.

Berdasarkan analisis data inferensial dengan teknik Anava dua jalan diperoleh harga Fobs = 8,24 (lihat lampiran 5). Berdasarkan tabel distribusi frekuensi F dengan dk pembilang 1 dan dk penyebut 77 pada taraf signifikansi  α = 0,05, dapat dilihat bahwa Ft seharga 3,92. Berdasarkan  harga-harga tersebut dapat dikatakan bahwa Fobs > Ft. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Hob ditolak. Simpulannya adalah H1 diterima atau terdapat perbedaan rataan yang signifikan antara siswa yang memiliki penguasaan bahasa  figuratif tinggi dan siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah terhadap kemampuan mengapresiasi puisi.

  1. 3. Pengujian Hipotesis III

Hipotesis ketiga dinyatakan bahwa Ho, tidak terdapat interaksi antara  metode pembelajaran dan penguasaan bahasa figuratif terhadap kemampuan mengapresiasi puisi. Hipotesis nol ini melawan H1 yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan penguasaan bahasa figuratif terhadap kemampuan mengapresiasi puisi.

Sebagaimana pada pengujian hipotesis pertama dan kedua di atas, pengujian hipotesis ketiga ini juga menggunakan teknik Anava dua jalan. Berdasarkan penghitungan pada lampiran 5, diperoleh harga Fobs = 4,46. Berdasarkan tabel distribusi F dengan dk pembilang sama dengan 1 dan dk penyebut sama dengan 77 pada taraf nyata α = 0,05 diperoleh Ft seharga 3,92. Berdasarkan harga-harga ini dapat dikatakan bahwa Fobs > Ft. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Hob ditolak. Simpulannya adalah H1 diterima atau terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan pengusaan bahasa figuratif terhadap kemampuan mengapresiasi puisi.

Berdasarkan ketiga pengujian hipotesis tersebut dapat disimpulkan bahwa bagi populasi, dalam hal ini siswa kelas 10 SMA Negeri 1 Karanganom, Klaten terdapat perbedaan kemampuan mengapresiasi puisi jika ditinjau dari perbedaan metode pembelajaran (metode hermeneutik dan konvensional/struktural), penguasaan bahasa figuratif yang dikategorikan tinggi dan rendah, dan interaksi keduanya. Pengujian hipotesis ini masih sebatas untuk mengetahui signifikansi antarvariabelnya. Secara lebih lanjut belum diketahui dari setiap variabel manakah yang memiliki derajat perbedaan lebih tinggi.

Pertama, pengujian variabel metode pembelajaran belum diketahui metode pembelajaran manakah yang memiliki tingkat lebih baik antara metode hermeneutik atau konvensional (struktural). Kedua, pengujian variabel penguasaan bahasa figuratif  belum diketahui kemampuan mengapresiasi puisi kelas manakah yang lebih tinggi antara siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi dan rendah. Terakhir, pengujian interaksi antara metode dengan penguasaan bahasa  figuratif. Berdasarkan pengujian, interaksinya memang dapat diterima bahwa antarvariabel memiliki efek gabung yang signifikan. Namun demikian, belum dapat diketahui kemampuan mengapresiasi puisi siswa kelas mana yang lebih baik, kelas eksperimen ataukah kontrol. Secara lebih lanjut efek gabung yang bagaimana dari interaksi keduanya.

Berdasarkan pemerian di atas, perlu dilakukan pengujian lanjut pascaanava. Untuk melakukan pengujian pascaanava, dalam penelitian ini digunakan metode Scheffe` pada setiap hipotesis. Berikut hasil pengujian pascaanava. Adapun hasil penghitungannya dapat dilihat pada lampiran 6.

Pertama, pengujian pada variabel metode pembelajaran. Berdasarkan pengujian signifikansi dengan metode Scheffe`, diperoleh harga Fh = 13,07. Harga ini lebih besar daripada Ft dengan dk pembilang 1 dan dk penyebut 77 pada taraf nyata α = 0,05 yang seharga 3,92. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan mengapresiasi puisi siswa pada kelas hermeneutik dan konvensioanl (struktural) menunjukkan perbedaan yang signifikan. Simpulannya adalah metode hermeneutik lebih baik daripada metode konvensioanl (struktural).

Kedua, komparasi antarkolom, dalam hal ini pengujian variabel penguasaan bahasa  figuratif. Dengan metode pengujian yang sama, dapat diperoleh harga Fh = 5,11. Harga ini lebih besar daripada Ft dengan dk pembilang 1 dan dk penyebut 77 pada taraf nyata α = 0,05 yang seharga 3,92. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan mengapresiasi puisi siswa memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi dan siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah menunjukkan perbedaan yang signifikan. Simpulannya adalah siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi lebih baik daripada siswa yang memiliki penguasaan bahasa  figuratif rendah dalam hal mengapresiasi puisi

Ketiga, komparasi antarsel dalam hal ini adalah interaksi antara metode dan penguasaan bahasa figuratif. Dengan metode pengujian yang sama, yaitu dengan metode Scheffe` (lampiran 6, dapat disimpulkan interaksinya sebagai berikut:

  1. Kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi pada kelas hermeneutik dan kelas konvensional (struktural) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dalam lampiran bahwa Fh = 0,256807 yang lebih kecil dari Ft seharga 8,04. Harga ini diperoleh dari 3 kali harga F pada taraf signifikansi α = 0,05 dan dk pembilang sama dengan 3, dk penyebut 77. Harga F tersebut sama dengan 2,68 dikalikan 3 sehingga diperoleh harga 8,04 (penghitungan dapat dilihat pada lampiran 6). Hal ini berarti bahwa kemampuan mengapresiasi puisi pada kelas hermeneutik maupun kelas konvensional (struktural) tidak jauh berbeda jika ditinjau dari penguasaan bahasa figuratif tinggi.
  2. Kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah pada kelas hermeneutik dan kelas konvensional (struktural) menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dapat dilihat dalam lampiran bahwa Fh = 14,0822 yang lebih besar dari Ft seharga 8,04. Harga ini diperoleh dari 3 kali harga F pada taraf signifikansi α = 0,05 dan dk pembilang sama dengan 3, dk penyebut 77. Harga F tersebut sama dengan 2,68 dikalikan 3 sehingga diperoleh harga 8,04 (penghitungan dapat dilihat pada lampiran 6). Hal ini berarti bahwa kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa diajar dengan metode hermeneutik dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah.
  3. Kemampuan mengapresiasi puisi siswa pada kelas hermeneutik yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi dan rendah tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Berdasarkan penghitungan dapat dilihat bahwa Fh = 0,28969 yang lebih kecil dari Ft seharga 8,04. Harga ini diperoleh dari 3 kali harga F pada taraf signifikansi α = 0,05 dan dk pembilang sama dengan 3, dk penyebut 77. Harga F tersebut sama dengan 2,68 dikalikan 3 sehingga diperoleh harga 8,04 (penghitungan dapat dilihat pada lampiran 6). Hal ini berarti bahwa kemampuan mengapresiasi puisi pada kelas hermeneutik siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi tidak jauh berbeda dengan siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah.
  4. Kemampuan mengapresiasi puisi siswa pada kelas konvensional (struktural) yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi dan rendah menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dalam lampiran bahwa Fh = 13,65748 yang lebih besar dari Ft seharga 8,04. Harga ini diperoleh dari 3 kali harga F pada taraf signifikansi α = 0,05 dan dk pembilang sama dengan 3, dk penyebut 77. Harga F tersebut sama dengan 2,68 dikalikan 3 sehingga diperoleh harga 8,04 (penghitungan dapat dilihat pada lampiran 6). Hal ini berarti bahwa kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah.
  5. Kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah pada kelas hermeneutik dan kelas konvensional (struktural) dengan penguasaan bahasa figuratif tinggi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Berdasarkan penghitungan, dapat dilihat bahwa Fh = 23,11601 yang lebih besar dari Ft seharga 8,04. Harga ini diperoleh dari 3 kali harga F pada taraf signifikansi α = 0,05 dan dk pembilang sama dengan 3, dk penyebut 77. Harga F tersebut sama dengan 2,68 dikalikan 3 sehingga diperoleh harga 8,04 (penghitungan dapat dilihat pada lampiran 6). Hal ini berarti bahwa kemampuan mengapresiasi puisi pada kelas hermeneutik siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah tidak jauh berbeda dengan siswa pada kelas konvensional (struktural) yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi.
  6. Kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi pada kelas hermeneutik dan kelas konvensional (struktural) dengan penguasaan bahasa figuratif rendah menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dalam lampiran bahwa Fh = 0,002199 yang lebih kecil dari Ft seharga 8,04. Harga ini diperoleh dari 3 kali harga F pada taraf signifikansi α = 0,05 dan dk pembilang sama dengan 3, dk penyebut 77. Harga F tersebut sama dengan 2,68 dikalikan 3 sehingga diperoleh harga 8,04 (penghitungan dapat dilihat pada lampiran 6). Hal ini berarti bahwa kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa diajar dengan metode hermeneutik dan memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah.

Bertolak dari hasil analisis data terlihat jelas bahwa ketiga hipotesis yang diajukan diterima. Seluruh hipotesis nol (Ho) ditolak. Kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang diajar dengan metode hermeneutik lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural). Selanjutnya, kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi lebih baik daripada siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah. Sementara itu, terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan penguasaan bahasa figuratif terhadap kemampuan mengapresiasi puisi.

Pada hipotesis ketiga, interaksi digolongkan menjadi enam, yaitu interaksi antarsel. Interaksi antarsel secara lebih perinci  dapat dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 2. Interaksi antara Metode Pembelajaran dan Penguasaan Bahasa Figuratif.

No. Interaksi
1 A1B1 = A2B1
2 A1B2 ≠ A2B2
3 A1B1= A1B2
4 A2B1 ≠ A2B2
5 A1B2 = A2B1
6 A1B1 ≠ A2B2

Keterangan:

A1 :   Metode hermeneutik.

A2 :   Metode konvensional (struktural).

B1 :   Penguasaan bahasa figuratif tinggi.

B2 :   Penguasaan bahasa figuratif rendah.

Keterangan interaksi antarsel:

  1. kemampuan mengapresiasi puisi pada kelas hermeneutik maupun kelas konvensional (struktural) tidak jauh berbeda jika ditinjau dari penguasaan bahasa figuratif tinggi.
  2. kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa diajar dengan metode hermeneutik dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode Konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah.
  3. kemampuan mengapresiasi puisi pada kelas hermeneutik siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi tidak jauh berbeda dengan siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah.
  4. kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional  (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah.
  5. kemampuan mengapresiasi puisi pada kelas hermeneutik siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah tidak jauh berbeda dengan siswa pada kelas konvensional (struktural) yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi.
  6. kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa diajar dengan metode hermeneutik dan memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah.

Berdasarkan simpulan analisis di atas, ada beberapa interaksi antarsel empiris tersebut yang tidak sejalan jika dikorelasikan secara teoretis. Interaksi antarsel tersebut adalah interaksi sel 1 dan sel 2 (simpulan kesatu) dan Interaksi pada sel 1 dan sel 3 (simpulan ketiga). Interaksi sel 1 dan sel 2 (simpulan kesatu), secara empirik, justru kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang diajar dengan metode hermeneutik dan penguasaan bahasa figuratif tinggi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang diajar dengan metode konvensional  (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi. Hal ini akan membantah teori keunggulan metode hermeneutik dibanding dengan metode konvensional (struktural) yang sama-sama ditinjau dari penguasaan bahasa figuratif tinggi. Seharusnya, kemampuan mengapresiasi puisi siswa dengan penggunaan metode hermeneutik apalagi ditunjang dengan penguasaan bahasa figuratif tinggi lebih baik daripada kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi.

Demikian pula pada interaksi pada sel 1 dan sel 3 (simpulan ketiga) secara konseptual, kemampuan mengapresiasi siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi dan rendah jika ditinjau dengan penggunaan metode hermeneutik seharusnya lebih baik  siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi. Namun, secara empirik justru tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini bertolak belakang dengan teori yang mengatakan bahwa metode hermeneutik membutuhkan penguasaan bahasa figuratif tinggi. Seharusnya siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi dan diajar dengan metode hermeneutik akan mendukung kemampuan mengapresiasi puisinya.

Ketidaksejalanan antara teori dengan empris di atas dapat dijelaskan dengan beberapa sebab. Padahal secara konsep penelitian ini sudah diusahakan sesahih mungkin dengan validitas perlakuan yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Salah satu usaha untuk menjaga kesahihan hasil penelitian tersebut adalah dengan berbagai upaya pengontrolan terhadap variabel ekstra yang dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Namun, keterbatasan dalam penelitian ini menyebabkan masih terdapatnya beberapa faktor yang sulit dikendalikan. Dampak  akhirnya adalah tidak adanya perbedaan yang signifikan secara empiris terhadap interaksi-interaksi yang telah dijelaskan di atas. Kelemahan-kelemahan tersebut di antaranya disebabkan oleh:

  1. sampel yang tidak mungkin untuk diisolasi dalam suatu tempat sehingga tidak dapat dibatasi ruang geraknya. Dampaknya adalah adanya kontaminasi antarsubjek/variabel yang ikut memengaruhi hasil penelitian,
  2. perbedaan latar belakang sampel sehingga muncul variasi latar belakang seperti, jarak tempat tinggal, kemampuan awal siswa, maupun prestasi siswa. Padal penelitian eksperimen mempersyaratkan penyeragaman kemampuan awal sampel sehingga pada akhir penelitian dapat diukur keberpengaruhan variabel yang diujikan, bukan karena faktor lain,
  3. perlakuan hanya dapat dilakukan saat proses belajar mengajar berlangsung sehingga tidak mungkin dikontrol efek variabel lain,
  4. guru yang bertugas dalam kelas ekperimen dan kontrol berbeda sehingga kemampuan guru yang bertugas pun berbeda. Kemampuannya hanya diasumsikan sama padahal kenyataannya belum tentu demikikan. Hal ini berkorelasi dengan kualitas perlakuan yang diberikan,
  5. simpulan hanya berlaku untuk populasi dalam hal ini siswa kelas 10 SMA N 1 Karanganom dan tidak dapat digeneralisasikan pada seluruh siswa kelas 10 SMA,
  6. pengelompokan sampel tidak didasarkan pada keseragaman kemampuan awal subjek penelitian.

Berbeda dengan interaksi sel 1 dan sel 2 (simpulan kesatu) dan Interaksi pada sel 1 dan sel 3 (simpulan ketiga) di atas, simpulan interaksi antarsel yang lain sudah membuktikan keberpengaruhan interaksi antara penggunaan metode dan penguasaan bahasa figuratif terhadap kemampuan mengapresiasi puisi..

Pada simpulan interaksi kedua (interaksi sel 3 dan sel 4) dinyatakan bahwa kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa diajar dengan metode hermeneutik dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah. Hal ini membuktikan teori bahwa metode hermeneutik lebih baik daripada metode konvensional (struktural) yang ditinjau dari penguasaan bahasa figuratif rendah. Pada siswa yang berpenguasaan bahasa figuratif rendah dapat membedakan penggunaan metode pembelajaran.

Selanggam dengan interaksi kedua, interaksi keempat (sel 2 dan sel 4) juga membuktikan bahwa penguasaan bahasa figuratif dapat membedakan kemampuan mengapresiasi puisi siswa yang ditinjau pada penggunaan metode konvensional (struktural). Kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah. Pada penggunaan metode konvensional  (struktural), penguasaan bahasa figuratif yang tinggi akan lebih baik daripada  penguasaan bahasa figuratif rendah.

Hal senada juga terjadi pada interaksi kelima (sel 3 dan sel 2), kemampuan mengapresiasi puisi pada kelas hermeneutik siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah tidak jauh berbeda dengan siswa pada kelas konvensional (struktural) yang memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kelas hermeneutik membutuhkan penguasaan bahasa figuratif yang tinggi. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan bahwa kelas hermenutik yang penguasaan bahasa figuratifnya rendah hasil kemampuan mengapresiasi puisinya tidak jauh berbeda dengan kemampuan mengapresiasi puisi dengan metode konvensional (struktural) dengan penguasaan bahasa figuratif tinggi. Dengan kata lain, metode konvensional atau struktural (yang notabene kurang unggul dari metode hermeneutik) yang  didukung dengan penguasaan bahasa figuratif tinggi hasilnya tidak jauh berbeda. Hal ini juga membuktikan keberpengaruhan dan keterkaitan penguasaan bahasa figuratif yang tinggi terhadap kemampuan mengapresiasi puisi.

Pembahasan terakhir pada interaksi keenam (sel 1 dan sel 4) yang menyatakan bahwa kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa diajar dengan metode hermeneutik dan memiliki penguasaan bahasa figuratif tinggi lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional (struktural) dan memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah. Hal ini membuktikan teori tentang keunggulan metode hermeneutik sekaligus keberpengaruhan penguasaan bahasa figuratif. Metode hermeneutik terbukti lebih unggul apalagi didukung dengan penguasaan bahasa figuratif yang tinggi daripada metode konvensional (struktural) yang juga diperparah dengan penguasaan bahasa figuratif rendah.

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode hermeneutik terbukti lebih baik daripada metode konvensional (struktural). Selanjutnya, semakin tinggi penguasaan bahasa figuratif siswa, semakin tinggi pula tingkat kemampuan mengapresiasi puisinya. Berdasarkan sejumlah simpulan tersebut, terlihat keberpengaruhan kedua variabel, yaitu penggunaan metode pembelajaran dan penguasaan bahasa figuratif.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dengan Anava Dua Jalan dapat disimpulkan: (1) terdapat perbedaan rataan yang signifikan antara pembelajaran mengapresiasi puisi dengan metode hermeneutik dan metode konvensional (stuktural) terhadap kemampuan mengapresiasi puisi siswa (Fobs > Ft (0.05; 1.77) = 7,82 > 3,96);

(2) Terdapat perbedaan rataan yang signifikan antara siswa yang memiliki penguasaan bahasa  figuratif tinggi dan siswa yang memiliki penguasaan bahasa figuratif rendah terhadap kemampuan mengapresiasi puisi (Fobs > Ft (0.05; 1.77) = 8,24 > 3,96); (3) Terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan pengusaan bahasa figuratif terhadap kemampuan mengapresiasi puisi (Fobs > Ft (0.05; 1.77) = 4.46 > 3,96).

Daftar Pustaka

Abdul Hadi W. M.. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esei-Esei Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Matahari.

Abulad, Romualdo E.. 2007. “What is Hermeneutics?”. Kritike. Vol. 1 No. 2  December 2007

Ary, Donald, dkk.. 1982. Pengantar Penelitian Sosial dan Pendidikan (terjemahan Arief Furchan). Surabaya: Usaha Nasional.

Atar Semi, M. 2002. Sastra Masuk Sekolah (Editor: Riris K. Toha Sarumpaet. Magelang: Indonesiatera.

Baedhowi. 2006. “Kebijakan Asessment dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 063 Tahun ke-12 Edisi November 2006 hal. 810-818

Furman, Richard. 2007. “Poetry Narrative as Qualitative Data: Exploration into Existential Theory”.   Indo-Pacific Journal of Phenomenology, Volume 7, Edition 1 May 2007 page 1-9

Geisler, Deborah M. 1985. “Modern Interpretation Theory and Competitive Forensics: Understanding Hermenutics Text”. The National Forensics Journal. Vol. III (Spring 1985) page. 71-79

Ghazali, A. Syukur. 2002. Sastra Masuk Sekolah. (Editor: Riris K. Toha Sarumpaet). Magelang: IndonesiaTera.

Gorys Keraf. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa: Komposisi Lanjutan I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Jabrohim. 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jabrohim, dkk.. 2001. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press.

Kosasih, E.. 2008. Ketatabahasaan dan Kesusastraan: Cermat Berbahasa Indonesia. Bandung: Yrama Widya.

Nyoman Kutha Ratna. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Palmer, Richard E.. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenal Interpretasi (terjemahan: Musnur Hery dan Damanhuri Muhammad). Yogyakarta: Hanindita Graha W.

Rakhmat Joko Pradopo. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

____________________. 2005. Beberapa Teori Sasatra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penelitian Sastra Asia Barat FIB UGM.

Suwardi Endraswara. 2002. Sastra Masuk Sekolah. (Editor: Riris K. Toha Sarumpaet). Magelang: IndonesiaTera.

________________. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Taufik Ismail. 2007. Makalah: Mengasah Ketajaman Intuisi dan Kepekaan Sosial melalui Kegemaran Membaca Karya Sastra. Surakarta: Tanpa Penerbit.

Tirto Suwondo. 2001. Metodologi Penelitian Sastra (Editor: Jabrohim dan Ari          Wulandari). Yogyakarta: Hanindita Graha W.

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.


[1] Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2009.

[2] Penulis adalah mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan PBS FKIP UNS Semester VIII dengan NIM K1205001.

Mei 19, 2010 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar